SELAMATAN

Catatan Tentang Selamatan

Selamatan diadakan sebagai pembukaan Indonesia Bertutur 2022 di Borobudur, sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan berkah-Nya. Selamatan adalah kegiatan yang jamak dalam masyarakat kita sebagai upacara bersama untuk mengawali sebuah peristiwa besar, demikian pula halnya untuk seluruh rangkaian acara Indonesia Bertutur 2022.

 

Kawasan Candi Borobudur telah ditempati oleh masyarakat Jawa secara turun-temurun bersama sejarah candi tersebut sejak berabad lamanya. Masyarakat Jawa di wilayah ini hidup di antara budaya agraris dan pariwisata. Tradisi Jawa yang hidup di sekitar kawasan candi masih tetap dijalankan dan dijaga kelestariannya, termasuk tradisi selamatan. 

Selamatan, yang dalam bahasa Jawa disebut sebagai slametan, merupakan ritual sinkretis antara kepercayaan Islam dan tradisi Kejawen Hindu-Buddha yang dianggap sebagai tradisi penting di kalangan masyarakat Jawa. Tujuan slametan selaras dengan prinsip hidup orang Jawa, yakni mencari keselamatan. Dengan melaksanakan upacara slametan, manusia mengakui bahwa di luar dirinya terdapat kekuatan-kekuatan tertentu di luar kemampuan manusia, yaitu kekuatan Tuhan dan semesta. Tujuan diselenggarakannya slametan adalah memohon selamat atas segala rintangan maupun bahaya yang kemungkinan bisa mencelakakan manusia. Slametan merupakan sebentuk penerapan sosio-religius masyarakat Jawa yang lazimnya dilaksanakan bersama dengan para tetangga, sanak keluarga, teman, dan sahabat. 

Pada pembukaan Indonesia Bertutur 2022, Selamatan merupakan perpaduan antara ritual doa yang diiringi oleh A Cappella Tari “Pradaksina”  dengan sejumlah penari yang melantunkan tembang tentang lingkaran perjalanan hidup manusia menuju puncak kesadaran dan kebahagiaan. Acara pembukaan akan dimeriahkan oleh tarian massal Soreng dan Topeng Ireng dari desa di wilayah pegunungan sekitar Candi Borobudur. 

Tari Soreng adalah nama kesenian rakyat yang bercerita tentang prajurit bernama Aryo Penangsang yang sedang melakukan gladhen, atau latihan perang. Soreng berasal dari daerah Jawa Tengah, tepatnya lereng Gunung Merbabu dan Gunung Andong. Nama soreng sendiri berasal dari peleburan kata sura yang berarti ‘berani’ dan kata ing yang artinya ‘menunjuk pada sesuatu’. Sura dan ing menjadi suro ing yang kemudian luluh menjadi soreng. Soreng bagi masyarakat lereng Gunung Merbabu dan Merapi adalah cerminan semangat laskar prajurit yang tegas, gagah, dan penuh energi, yang telah terpatri menjadi jiwa masyarakat lereng Merapi dan Merbabu di Kabupaten Magelang. Soreng merupakan kristalisasi dan personifikasi  budaya agraris yang muncul dalam nama gerakan seperti jangkahan, ngejeng, pacak tanggem/tanem, dan sebagainya. Sampai sekarang kehadiran tari ini terus memberi semangat kepada para petani dalam merawat kesuburan tanah leluhur. Nilai yang terkandung dalam Soreng adalah kerja keras, gotong royong, kebersamaan, semangat, pantang menyerah, tangguh, teguh, kukuh dalam menghadapi kehidupan sebagai petani. 

Selain tari Soreng, Pembukaan Indonesia Bertutur 2022 dimeriahkan juga dengan tari Topeng Ireng massal yang ditampilkan oleh Komunitas Lima Gunung. Topeng Ireng  berkembang di wilayah lereng Gunung Merbabu dan sekitarnya sejak 1960-an. Topeng Ireng merupakan bentuk pengembangan dari bentuk-bentuk Kubro Siswo, tari tradisi asal Magelang. Pada zaman pemerintahan Belanda, ketika pelatihan silat dilarang untuk dipraktikkan, masyarakat mengembangkan elemen silat menjadi unsur utama tari rakyat. Kubro Siswo menggunakan iringan musik yang keras dan lirik tembang yang berisikan syiar agama Islam. Tarian ini biasanya disajikan dalam suasana arak-arakan kirab dalam rangka mengelilingkan mustaka (kubah) masjid sebelum dipasangkan di atas gedung masjid baru. Seiring waktu, tarian ini berkembang menjadi Topeng Ireng. Selain mengandung syiar agama Islam, Topeng Ireng juga menggambarkan kehidupan masyarakat di lereng Gunung Merbabu. Dari gerakannya yang tegas, tergambar kekuatan fisik masyarakat desa saat bertarung maupun bersahabat dengan alam guna mempertahankan hidupnya. Setiap pertunjukan Topeng Ireng selalu diiringi berbagai bunyi-bunyian dan suara, mulai dari suara hentakan kaki yang menimbulkan bunyi gemerincing berkepanjangan, suara teriakan para penari, suara musik yang mengiringi, hingga suara penyanyi dan para penonton. Musik yang biasa mengiringi pertunjukan Topeng Ireng adalah alat musik sederhana seperti gamelan, kendang, terbang, bende, seruling, dan rebana. Alunan musik yang ritmis menyatu dengan gerak dan teriakan para penari sehingga pertunjukan Topeng Ireng terlihat atraktif dan dinamis. Pertunjukan tari ini terbagi menjadi dua jenis tarian. Yang pertama adalah Rodat, yang berarti dua kalimat syahadat. Tarian ini ditampilkan dengan gerakan pencak silat sederhana serta diiringi lagu-lagu syiar Islami. Jenis tarian kedua adalah Monolan yang melibatkan penari dengan kostum hewan. Tarian ini melibatkan unsur mistik serta gerak pencak silat tingkat tinggi.

Sejak 2000-an, Topeng Ireng termasuk sebuah tari yang sangat populer di kalangan masyarakat Komunitas Lima Gunung (Merapi, Menoreh, Merbabu, Andong, dan Sumbing). Selain desain kostumnya yang menarik dan gerakan yang dinamis, tarian ini memperlihatkan ketangguhan dan kegagahan para penari. Hampir di setiap panggung hiburan di Komunitas Lima Gunung, Topeng Ireng tampiI untuk memeriahkan berbagai acara di wilayah tersebut, termasuk festival, penyambutan tamu, hajatan, sunatan, dan peringatan hari-hari besar lainnya. Tak heran jika tarian ini sangat populer di kalangan penduduk setempat dan menjadi tari hiburan yang sangat digemari oleh kalangan anak-anak, remaja, dan orang tua. Keberadaan tari ini maka menjadi salah satu kebanggaan seniman sekaligus masyarakat yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung. Melalui pertunjukan Topeng Ireng, hubungan silaturahmi antara penduduk kampung dapat ditingkatkan dan masyarakat memiliki wahana interaksi sosial dan seni di wilayah Komunitas Lima Gunung. 

Dalam pementasan Topeng Ireng pada pembukaan Indonesia Bertutur 2022, Komunitas Lima Gunung menampilkan gabungan penari dari Padepokan Wargo Budoyo (Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Pakis, Kabupaten Magelang), kelompok NR Art Production (komunitas mahasiswa wilayah Kabupaten Magelang), dan Sanggar Dhom Sunthil (Desa Warangan, Merbabu). 

 

Melati Suryodarmo

 


 

TENTANG A CAPELLA TARI "PRADAKSINA"

 

A Cappella Tari “Pradaksina” adalah karya baru Wasi Bantolo yang melibatkan sejumlah penari dan vokalis. Karya ini merupakan rangkaian tatanan gerak tari dan seni berlagu yang diciptakan untuk mengantarkan upacara doa bersama. Bagi Wasi, eksistensi kehidupan manusia menjadi ada jika manusia mempunyai kesadaran atas jalan kebahagiaan. “Pradaksina” berpijak pada filsafat hidup manusia yang bagaikan jalan melingkar. Seluruh kata, nada, dan rasa ditumpahkan sebagai pengantar pesan-pesan rohani yang dilantunkan oleh para penari sekaligus vokalis. 

 

Sutradara, koreografer, dan komposer: Wasi Bantolo

Penggubah dan pengarah vokal: Putu Indrati

 

Penari dan vokalis:

Nuryanto | Dhestian Wahyu Setiaji | Irwan Dhamasto | Nandhang Wisnu Pamenang |

Damasus Crismas | Ibnu Sholiqin | Resta Martha Ontyka | Tumuruning Rahayu Lestari |

Suci Indah Pertiwi | Adelia Puspitasari | Annis Analekta Tyarsavira |

Bernadetha Sekar Wandita Rasmi | Masayu Hemas Kasyara | Monika Mutiara Kurnia Putri |

Tesalonika Wahyu Pramesti | Haning Anindhita | Farras Kriyah Rahma Muthahhari |

Clairine Faiza Saharani | Putu Indrati | Wasi Bantolo

 

Manager produksi: Resta Mastha Ontyka

Desain kostum: Supriadi

Sound engineer: Merwan Ardhi

Make-up & costume master: Dhestian Wahyu Setiaji, Irwan Dhamasto

 

WASI BANTOLO

Wasi Bantolo (l. Surakarta, 1974) adalah koreografer, komposer, dan staf pengajar di jurusan tari Institut Seni Indonesia Surakarta. Ia memperoleh gelar Magister Seni dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta pada 2002. Dalam riwayatnya berkesenian, ia telah banyak menyusun koreografi, melakukan lokakarya seni, menjadi pembicara seminar, dan tampil dalam pertunjukan di negara lain seperti Amerika Serikat, Belanda, Belgia, Jepang, Filipina, Thailand, Swedia, dan Jerman. Wasi telah menciptakan puluhan karya koreografi, di antaranya “Sacred Sounds”(2003), “Gongs of Truth”(2004), “Lirical Tension” (2005), “Panji Kayungyun” (2009), “Opera Panji” (2009), serta “Bedhaya Sekar Kasetyan dan Boma” (2010), “Arok–The Godfather Soliloquy” (2010), “Sedhah Mirah”(2010), “Tandhing Gendhing (a Battle of Wits), “Opera Tandhing Gendhing the Mothers” (2018)”, dan “A Capella Tari Parang” (2021). Sebagai sutradara, koreografer atau penari, Wasi telah bekerja sama dengan berbagai institusi internasional, seperti University of Michigan, UC Berkeley, University of Wisconsin, International Dans Theater Amsterdam, dan seniman lain di antaranya dengan Rahayu Supanggah, Retno Maruti, Rury Nostalgia, Iwan Tirta. 

 


 

PADEPOKAN SENI TJIPTA BOEDAYA

 

Padepokan Seni Tjipta Boedaja didirikan pada 1937 di Dusun Tutup Ngisor, Magelang, oleh Romo Yoso Sudarmo (alm.) dan sampai sekarang masih menjadi pusat aktivitas budaya. Pada awal 1930-an, Yoso Sudarmo pergi ke Solo untuk belajar menari di Istana Mangkunegaran. Di sana, ia mempelajari bermacam-macam kesenian istana, seperti tari, wayang wong, wayang topeng, wayang kulit, penatahan wayang, pusaka, pembuatan busana tari, karawitan, dan lain-lain. Sekembalinya ke Tutup Ngisor, ia mengajarkan hasil belajarnya untuk dikembangkan di Tutup Ngisor atas dorongan masyarakat desa. Maka, pada 1937 berdirilah padepokan seni bernama Tjipta Boedaja. Pendukung utamanya adalah keluarga dan putra-putrinya sendiri karena mereka sangat antusias belajar seni. Kecintaan ini tertanam begitu dalam dalam keluarganya hingga diharuskan bagi generasi-generasi berikutnya untuk terus menjadi pelaku seni. Sistem pembelajaran dilakukan melalui jalur keluarga dan hampir semua anak keturunannya bisa mewarisi tradisi yang telah dirintis, termasuk tradisi Suran. Dalam tradisi wayang orang, peraganya pun harus keturunan keluarga Yoso Sudarmo. 

Sekarang, di bawah pimpinan Sitras Anjilin, salah satu putra Yoso Sudarmo, Padepokan Seni Tjipta Boedaja melangsungkan kegiatan rutin lewat pentas wayang wong yang harus dilaksanakan setiap tahun tiga kali. Pertama, pada setiap Suro (Muharam), yang dikaitkan dengan upacara ritual Suran (ritual kesuburan) dengan mengambil lakon Lumbung Tugu Mas. Pentas rutin kedua menampilkan wayang pada bulan Syawal (hari raya Idul Fitri) sebagai ungkapan syukur atas anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Adapun yang ketiga adalah pentas wayang wong pada Agustus, berkaitan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Ketiga kegiatan wajib dilakukan warga Tutup Ngisor pada umumnya dan khususnya keluarga Yoso Sudarmo. 

Sikap kritis dan terbuka sampai sekarang masih dimiliki oleh keluarga padepokan sehingga padepokan juga berfungsi sebagai ruang ekspresi, tempat menggali ilmu kemanusiaan khususnya budaya, dan tempat merajut ikatan persaudaraan lewat seni. Pada Pembukaan Indonesia Bertutur 2022, Padepokan Seni Tjipto Boedaja menampilkan Tari Soreng dengan cerita ketika para prajurit sedang berlatih gladhen lewat olah kanuragan dan keprajuritan.

 

SITRAS ANJIN

Sitras Anjilin (l. 1958) adalah seniman dan budayawan Dusun Tutup Ngisor, Magelang. Sitras bekerja sebagai sutradara dan penata iringan dalam pertunjukan wayang orang, ketoprak, maupun teater modern. Ia juga aktif dan terlibat dalam berbagai komunitas, Festival Lima Gunung, Festival Tlatah Bocah, dan Sanggar Bangun Budaya, juga sebagai guru Teater Estra di SMA Dukun Magelang. Pengetahuannya dalam bidang seni telah membawanya ke panggung-panggung dan jejaring seni di wilayah nasional maupun internasional, di antaranya di Aceh, Solo, Semarang, Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogja, dan di Inggris pada 2006 dan 2009. Saat ini Sitras aktif berkegiatan dan berkarya di Padepokan Seni Tjipta Boedaja. 

 


 

KOMUNITAS LIMA GUNUNG

 

Komunitas Lima Gunung berkedudukan di Magelang, Jawa Tengah, dengan keanggotaan dari lima gunung sekitar Magelang, yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Andong dan perbukitan Menoreh. Komunitas Lima Gunung (KLG) didirikan dengan paradigma berkesenian yang menstimulasi dimensi untuk hidup bersama lewat seni dalam menyikapi pelbagai fenomena yang berkembang dalam masyarakat kontemporer. Mengedepankan unsur merdeka, komunitas ini menarik perhatian masyarakat dan pemerhati seni, khususnya dengan membuka wacana baru dalam bereksplorasi. Komunitas Lima Gunung didirikan oleh Sutanto bersama-sama dengan masyarakat Lima Gunung.

Sejak awal terbentuk hingga kini, KLG telah melangsungkan Festival Lima Gunung sebanyak 21 kali. Meskipun mengundang ratusan partisipan dari berbagai daerah, semua kegiatan festival diselenggarakan tanpa sponsor atau donatur dari mana pun dan dibiayai secara swadaya. Selain menggelar pertunjukan kesenian tradisional, komunitas ini juga menyelenggarakan pertunjukan musik, pameran seni rupa, dan perhelatan seni kontemporer lainnya. Bisa dikatakan festival ini tradisi pesta komunitas independen yang terus berkelanjutan. 

 

SUSANTO MENDUT

Sutanto (l. 1954), sering disebut juga Tanto Mendut adalah seniman dan budayawan pendiri sekaligus pemimpin Komunitas Lima Gunung yang rutin menggelar Festival Lima Gunung—perhelatan seni budaya berskala internasional yang selalu memberdayakan masyarakat di lima kawasan gunung, yaitu Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh. Sutanto berhasil menumbuhkan kepercayaan masyarakat desa untuk berekspresi, yang kini telah tampil di berbagai panggung kesenian Indonesia dan luar negeri, tanpa berganti profesi dan tetap menjadi petani. Ia peraih lima penghargaan karya musik dari Dewan Kesenian Jakarta, Maestro Seni Tradisional dari Kementerian Pendidikan, Gus Dur Award dari Wahid Institut sebagai Tokoh Sosial Budaya, dan penghargaan sebagai Penggagas Festival Lima Gunung oleh Yayasan Sains Estetika dan Teknologi. Selain menciptakan banyak komposisi musik dan menjadi pembicara di forum-forum internasional, Sutanto juga mengajar di program pascasarjana Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.

 


Topeng Ireng
Topeng Ireng