KIRANAMAYA

KIRANAMAYA: FESTIVAL CAHAYA

 

Catatan Kuratorial

Cahaya adalah keniscayaan bagi kehidupan di bumi. Hampir semua makhluk hidup membutuhkannya dalam aktivitas untuk menunjang kehidupan. Dalam gelap, makhluk bumi, termasuk manusia, tidak bisa mengubah zat-zat kimia yang diperlukan untuk menjalankan proses metabolisme dalam berbagai bentuknya. Cahaya pada dasarnya adalah energi yang dipancarkan benda berpijar. Tak hanya matahari, objek lain bisa terbakar dan memijarkan cahaya, misalnya lampu dan kayu. Benda-benda yang mengeluarkan cahaya ini dinamakan sumber cahaya.

 

Dalam ilmu fisika, cahaya didefinisikan sebagai energi berbentuk gelombang elektromagnetik yang kasatmata dengan panjang sekitar 380–750 nanometer. Gelombang ini tidak membutuhkan medium untuk merambat sehingga dapat melalui ruang hampa. Maka, cahaya matahari mampu sampai ke bumi, melewati ruang hampa udara di luar angkasa dalam waktu 300 juta meter/detik. 

Matahari sebagai sumber cahaya terbesar di bumi memiliki pancaran sinar yang lurus, dan rambatan cahaya matahari ke bumi inilah yang menyebabkan terjadinya siang dan malam. Salah satu bukti bahwa cahaya merambat menurut garis lurus adalah gerhana matahari dan gerhana bulan. Sinar matahari yang dihalangi oleh bulan membuat sebagian bumi menjadi gelap.      

Dari matahari, cahaya jatuh ke bumi dan membuat manusia bisa melihat. Jika suatu benda tidak menerima pantulan cahaya, mata manusia tak bisa melihat benda tersebut. Dengan kata lain, proses melihat terjadi karena pemantulan cahaya dari benda ke mata—baik itu pemantulan teratur, yang terjadi pada permukaan rata (cermin, kaca, permukaan benda mengilap seperti lantai keramik dan sejenisnya), maupun pemantulan tidak teratur, yang terjadi pada permukaan tak rata (jalan berbatu, pohon, sepatu, dan lain-lain.) 

Cahaya menduduki posisi penting dalam kebudayaan Nusantara. Di berbagai wilayah kepulauan ini, segala sesuatu sering merupakan perpaduan antara bentuk (cangkang, bungkus) dan isi (substansi); bentuk bukan sekadar manifestasi fungsi, melainkan juga nilai. Cahaya dalam konteks ini maka bukan perkara fisik, melainkan substansi. Dalam kebudayaan Jawa, misalnya, cahaya dapat identik dengan nilai supranatural. Istilah tejo dan pulung, misalnya, berkorelasi dengan kekuatan gaib yang dimiliki seseorang. Mitos silsilah raja dalam masyarakat Jawa pun selalu dikaitkan dengan cahaya. Demikian pula berbagai pandangan hidup yang memaknai cahaya (cahya) sebagai simbol kehidupan, harapan, dan keselamatan. 

Tak jauh dari masyarakat Jawa, masyarakat Sunda juga memiliki perhatian khusus mengenai cahaya. Bedanya, jika kebudayaan Jawa memosisikan cahaya dalam makna kultural-filosofis, kebudayaan Sunda cenderung menyasar pada fenomena fisik. Di sini, cahaya terkategorikan ke dalam beberapa tingkatan (gradasi) yang mengikuti perubahan waktu (alam). Kebudayaan Sunda tidak hanya mengategorisasikan cahaya menjadi terang (caang) sebagai manifestasi dari siang (beurang), dan gelap (poek) yang identik dengan malam (peuting), tapi juga mengenal kategori lain. Orang Sunda menyebut carangcang tihang, misalnya, untuk mendeskripsikan cahaya pada waktu transisi antara subuh dan pagi, menyebut sareupna untuk mendeskripsikan cahaya pada saat transisi antara waktu sore dan malam. 

Menengok ke kebudayaan lain, cahaya sering dikonotasikan dengan hal-hal yang bersifat positif. Pythagoras dari kebudayaan Yunani Kuno percaya bahwa mata ibarat mercusuar bagi jiwa, memancarkan cahaya untuk membantu kita menjelajahi lingkungan di sekitar dan memungkinkan kita untuk melihat dunia. Democritus, dari masa sesudah Pythagoras dan eksponen atomis yang sangat berpengaruh, percaya bahwa cahaya merambat dari objek ke mata sehingga memicu penglihatan. 

Sementara itu, dalam kebudayaan agama dan spiritualisme, cahaya putih pada umumnya menjadi pengungkapan atas pencerahan atau pencapaian kemurnian batin yang ilahiah. Ini pun sejalan dengan mitos-mitos yang ada di Nusantara. Cahaya sering dijadikan indikator atas energi baik maupun energi buruk. Di dunia pedalangan, rambatan cahaya menjadi elemen penting untuk memunculkan bayangan yang memberikan nuansa dramatis pada kisah-kisah yang dimainkan.

Demikianlah, dari pencahayaan, warna lahir. Dari warna, keindahan lahir. Inilah karakteristik utama dari kenyataan yang dapat manusia rasakan berkat kecemerlangan dan energi murni cahaya. Ia menjadi titik tumpu, elemen kelima yang memberi asal pada empat yang pertama; melewati mata dan mencapai daya pikir kita hingga kita tersadar bahwa air, udara, tanah, dan api—segalanya—tanpa cahaya, tidak akan ada dalam pandangan kita. 

Mengapa cahaya memiliki relevansi yang begitu dalam? Hanya ketika ia tidak ada dan kegelapan mengisi tempatnya, manusia mengakui makna penting dan keajaibannya. Cahayalah yang memungkinkan kita, manusia, mengalami realitas dan menafsirkan keindahannya dengan mata kita sendiri; memberi kita kebebasan untuk hidup dan menghargai keindahannya, tanpa terbatas semata-mata pada perjuangan untuk bertahan hidup. Tanpa cahaya, dunia akan menjadi ranah massa tak berwarna yang membingungkan. Berkat cahaya, kita dapat melihat warna, elemen penting yang membuat kenyataan tampak seperti lukisan dan mengubah bentuk biasa menjadi karya seni.

Indonesia Bertutur 2022 menyelenggarakan Festival Cahaya yang akan hadir dalam beragam tatanan instalasi seni cahaya dari karya-karya yang menggunakan teknologi pencahayaan, interaktif, dan arsitektural.  Pengunjung akan mendapatkan pengalaman cahaya yang istimewa pada malam hari di beberapa tempat di taman-taman Borobudur.

 

Melati Suryodarmo

 


 

SENIMAN INSTALASI FESTIVAL CAHAYA

 

DENSIEL PRISMA Y. LEBANG: Leang

GONDOLA TEAM: Get Lost, Find a Way, The Rightway, One Way, ONENESS

JOGJAKARTA VIDEO MAPPING PROJECT (JVMP): Shivalaya

JOSH MARCY: Mitos, Tutur, dan Yang Bergerak

KINARA DARMA: Nirleka

SOPHIYAH: How Erectus are We?

 


 

SENIMAN VIDEO MAPPING FESTIVAL CAHAYA

 

DECIDE KIT: Blooming

EURECA: Borobudur, Damai Semesta

FURYCO STUDIO

LEPASKENDALI LABS: Prambanan, Fire Spirit

LZY VISUAL: The Story of Rama and Shinta

MöDAR

MOTIONHOUSE: Legenda Kerajaan Kutai

RAMPAGES PRODUCTION x TOOPFIRE

STUDIO GAMBAR GERAK

THE FOX,THE FOLKS: HARTA, TAHTA, PAPUA

VULTURE STUDIO: The Spirit of Trowulan: The Beginning

XCHAINLABS: Dharma Paranaga