ANARTA

ANARTA: SENI PERTUNJUKAN KONTEMPORER

 

 

Pemahaman tentang praktik kontemporer di segala bidang seni di Indonesia banyak bertempat di ruang perbincangan yang terpisah dari habitat kebudayaan tradisional. Seni kontemporer sering dipandang harus bisa berdiri sendiri dan berlanjut secara mandiri. Padahal karya-karya seni kontemporer justru merupakan cerminan realitas kehidupan. Seni kontemporer muncul dari berbagai ragam pemikiran, estetika global, dan cakrawala artistik yang terbuka luas. Tidak hanya sebagai ajang kebebasan berekspresi, praktik seni kontemporer juga sering menghadirkan cara pandang yang kritis dan unik dari penciptanya. Keberadaannya sangat dekat dengan persoalan konteks waktu dan tidak terlalu memasuki konteks identitas kolektif. Berbeda dengan kesenian tradisi yang bentuknya bertahan karena konsistensi dan konvensi yang dijaga oleh masyarakat pendukungnya, seni kontemporer bergerak di berbagai ruang sosial untuk menemukan bentuknya sendiri dan dipromotori oleh pelaku-pelaku seni secara individual. Para penciptanya mengangkat cara melihat fenomena kehidupan dan menerjemahkannya pada karya.

 

Sejarah praktik seni kontemporer Indonesia memiliki bermacam jalur pengaruh. Melalui proses peralihan waktu yang cukup lama dan bertahap, praktik seni lebih banyak berkaitan dengan sejarah politik dan sosial di tanah air. Kesenian Nusantara terbukti memberi kontribusi pada pertumbuhan seni pertunjukan modern di Eropa. Jika kita menengok kembali peran kesenian tradisional pada zaman Hindia Belanda, kita bisa melihat bagaimana tari dan musik tradisional, khususnya dari Jawa dan Bali, menjadi sumber inspirasi dan dikembangkan menjadi bentuk yang beragam. Para penari dan koreografer seperti Margaretha Gertrude Zelle (Mata Hari), Ruth St. Denis, Takka Takka dan Ernest Neuschul, Martha Graham, Mary Wigman, Michio Ito, dan Raden Mas Jodjana telah memelopori reinterpretasi atas tari Jawa dan Bali menurut imajinasi individual mereka pada awal abad ke-20 di Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Mereka menciptakan karya-karya bahkan tanpa mengunjungi Indonesia.  

Dalam sejarah seni teater di Eropa, Antonin Artaud dari Prancis memelopori pemikiran tentang teater tubuh melalui bukunya, Theatre and Its Double, yang terinspirasi oleh pertunjukan sendratari Bali pada Exposition coloniale internationale 1931 di Paris. Dari pengamatannya terhadap ekspresi wajah dan tubuh para penari Bali, Artaud memperkenalkan konsep “théâtre de la cruauté” (teater kekejaman) di mana ia menyerukan persekutuan antara aktor dan penonton dalam suasana kegaiban tubuh, gerak tubuh, suara, tatanan visual yang tidak biasa, dan tata cahaya, yang bergabung menciptakan bahasa suasana yang lebih canggih daripada kata-kata. Suasana ini dirancang sedemikian rupa untuk menumbangkan pikiran dan logika serta mengejutkan penonton demi kesaksian atas kegelapan realitas dunia. Artaud, yang hidup pada masa represif Paris pada 1930–1940-an di bawah pemerintahan kolaborator Nazis, banyak mempengaruhi pemikiran para seniman di Eropa seperti Jerzy Grotowski, Tadeusz Kantor, Rainer Werner Fassbinder, juga para filsuf seperti Jacques Derrida, Gilles Deleuze, Feliz Guattari, dan Michel Foucault. 

Di bidang musik, Colin McPhee, seorang komposer avant garde asal Kanada yang lahir di Indonesia pada 1900, dan tinggal di New York pada 1930, adalah penulis pertama tentang musik Bali dalam bahasa Inggris dan dipublikasikan secara luas di Amerika Serikat pada 1930-an. Tulisan dan karya-karyanya banyak mengundang perhatian pemusik dan etnomusikolog Barat tentang musik-musik tradisional di Indonesia. Namun, jauh sebelumnya, seorang komposer Prancis bernama Claude Debussy sangat terinspirasi oleh tampilan Sari Oneng, kelompok gamelan Sunda yang mengiringi dua penari Jawa dan Mangkunegaran Solo di pameran Exposition universelle de Paris 1889. Debussy mengadaptasi suara gamelan dan menerjemahkan harmoni sebuah orkestra pada beberapa komposisinya, seperti Le Mer.

Di Indonesia, kesenian tradisional bermula dalam masyarakat karena fungsinya dalam kegiatan kemasyarakatan dan biasanya dikaitkan dengan kepentingan upacara ritual atau perayaan setempat. Tari, musik, teater, wayang kulit, dan sebagainya bersifat kerakyatan dan menyajikan spiritualitas, rasa syukur, dan kegembiraan. Pertunjukan seperti ini juga sering dimanfaatkan untuk menyiarkan warta berita sosial maupun politik. Kesenian tumbuh bersama aturan adat-istiadat daerah sesuai dengan dinamika masyarakatnya. Asimilasi budaya dan sinkretisme lantas memberikan peluang terhadap inovasi-inovasi bentuk kesenian sesuai dengan zamannya. Dunia pertunjukan teater, musik, dan tari maka mengalami berbagai tahap perubahan besar, khususnya seni pertunjukan modern dan tradisional sejak awal abad ke-20 hingga sekarang. Perubahan-perubahan tersebut terartikulasikan bersama berkembangnya komunikasi dan transportasi dan terbukanya Indonesia terhadap kapitalisme multinasional. 

Tantangan dalam pertumbuhan kesenian pun muncul, khususnya dari persepsi tertentu atas tradisi dan sikap-sikap fanatisme kebudayaan. Keinginan untuk melestarikan kebudayaan tradisional merupakan hal wajar, tetapi jika tidak diiringi dengan pengetahuan tentang pertumbuhan masyarakatnya, maka kecenderungan untuk menyikapi kesenian tradisi sebagai obyek tontonan saja justru semakin kuat dan nilai fungsinya semakin berkurang. Oleh karenanya, pendidikan kesenian menjadi hal yang sangat penting untuk menemani pertumbuhan dan wacana kesenian tradisi dan bentuk-bentuk kesenian baru. 

Perubahan cara menyikapi kebudayaan tradisional acapkali memunculkan kritik mendua: antara hasrat untuk mengembangkan pemikiran dengan cara bebas melalui interpretasi ulang atas tradisi atau mencipta karya kekinian tapi meminjam dan menggunakan unsur-unsur fisik kesenian tradisional. Yang satu ingin memaknakan kembali yang lama menurut wacana pribadinya, yang satunya lagi ingin menghadirkan representasi lama dalam tatanan baru.

Tari, musik, teater, dan seni performans dalam ruang praktik seni pertunjukan kontemporer di tanah air terus tumbuh dari zaman ke zaman, mencerminkan bahwa dunia kesenian berkembang dalam berbagai lapis atau bentuk kebudayaannya. Posisi seni kontemporer Indonesia dalam pergaulan internasional selalu menjadi menarik karena sejarah panjang cara dunia melihat kebudayaan negeri ini. Seiring dengan perubahan waktu, tuntutan atas tumbuhnya ekosistem seni pertunjukan kontemporer harus didukung perkembangannya.

Salah satu spirit Indonesia Bertutur 2022 adalah menghadirkan berbagai kemungkinan pertumbuhan praktik seni pertunjukan musik, tari, dan teater, khususnya yang melakukan proses riset dan eksperimen cukup panjang dan yang menggunakan teknologi modern dalam karyanya. Mempertimbangkan persinggungan kebudayaan yang cukup panjang seperti terpapar di atas, Indonesia Bertutur 2022 memberikan perhatian khusus pada koreografer, komposer, dan kelompok teater yang perjalanan kekaryaannya memiliki kualitas hubungan dengan pencarian atas nilai-nilai kehidupan, sejarah, dan realitas sosial dan menghadirkannya dalam karya-karya kontemporer.

Sesuai dengan tema besar Indonesia Bertutur 2022, Panggung Seni Pertunjukan Kontemporer menghadirkan karya-karya terpilih yang melakukan kerja-kerja telisik atas warisan cagar budaya dan melakukan proses intensif untuk menemukan narasi baru atau mengembangkannya sesuai dengan ranah pemikiran dan realitas kehidupan kultural, sosial, dan politik masa kini. Masing-masing seniman memiliki caranya untuk mengejawantahkan estetika dengan kekhasan masing-masing. 

Kelompok Prehistoric Body Theater yang dipimpin oleh Ari Rudenko (AS), telah melakukan riset-riset artistik dan ilmiah tentang ekosistem prasejarah dan evolusi manusia. Prehistoric Body Theater bekerja sama dengan para ahli paleontologi dan evolusi untuk menemukan bentuk-bentuk pertunjukan unik yang bisa dijangkau oleh publik global. Sejak 2015, Ari dan penari-penari dari Indonesia telah melakukan berbagai uji coba dan pelatihan fisik, termasuk di alam, untuk menemukan transformasi bentuk gerak binatang prasejarah ke tubuh manusia. Terinspirasi oleh kosa gerak tari Indonesia, mereka berkolaborasi menampilkan karya baru berjudul “A Song for Sangiran 17”, yang terkait dengan riset mereka tentang Sangiran.

Salah satu tema penting dalam keberlanjutan ekosistem kebudayaan adalah perhatian masyarakat terhadap lingkungan alamnya. Hari ini nampak nyata bahwa hubungan manusia dengan lingkungan alam sedang sangat tidak akrab. Bagi Fitri Setyaningsih, koreografer yang banyak terinspirasi oleh realitas kehidupan dan lingkungan sosial, alam selalu memberikan tanda-tanda tentang semesta di mana kita hidup. Pengamatannya tentang kinjeng tangis atau tonggeret atau garengpung (cicada), telah dilakukan sejak 2020. Tonggeret adalah serangga yang mengeluarkan bunyi keras dan tinggi hingga 125 desibel, khususnya dari pejantan yang sedang mengincar betinanya. Suara tonggeret ini merupakan penanda bahwa ekosistem alam masih seimbang. Di berbagai pedesaan yang berubah, suara tonggeret sudah sulit ditemukan. Dalam mitos Jawa, kinjeng tangis adalah tangisan seorang anak yang mencari orang tuanya. Menurut ilmu pengetahuan alam, suara kinjeng tangis, lewat frekuensi yang dihasilkannya, bisa meningkatkan tanaman kentang untuk tumbuh lebih besar dan dengan daun yang juga lebih lebar. Fitri memaknai siklus kehidupan tonggeret sebagai penanda siklus kehidupan alam dan manusia. Karya koreografi yang berjudul “Kinjeng Tangis” (The Return of Cicadas) hadir untuk menyuarakan kekacauan alam karena semakin besarnya pengaruh kapitalisme industri yang merampas ruang-ruang kehidupan.

Kisah pewayangan banyak memuat tokoh-tokoh dan lakon perempuan. Dalam Mahabharata dan Ramayana, mereka hadir dalam karakter yang diinterpretasikan oleh para dalang atau sutradara wayang sesuai dengan pakem-pakem tradisinya. Pesan-pesan moral yang disampaikan melalui karakter-karakter perempuan tersebut digunakan sebagai contoh baik-buruknya perempuan dalam masyarakat. Sebagai koreografer, Mila Rosinta banyak terinspirasi oleh kehidupan dan posisi perempuan di lingkungan sosialnya. Spirit penciptaan karyanya banyak merujuk pada riset atas nilai-nilai budaya tradisi yang kemudian diolah sedemikian rupa melalui komposisi gerak dan energi kiwari, dan telah banyak mempengaruhi kaum muda untuk mencintai dan mengapresiasi tari. Dalam karya “Jalan, Berjalan, Perjalanan”, Mila menampilkan hasil telisik dan proses interpretasi atas kisah Drupadi dari epos Mahabharata. Eksplorasinya dimulai dari penelusuran narasi kisah dan penokohan Drupadi versi India, Jawa, hingga pembacaan ulang berdasarkan novel Drupadi karya Seno Gumira Ajidarma.

Melalui kekuatan bunyi yang merupakan perpaduan eksplorasi vokal Rully Shabara yang sangat kaya coraknya dengan kedalaman ragam bunyi instrumen musik khas Wukir Suryadi, Senyawa memasuki cakrawala bunyi motif tradisional Indonesia yang menyatu sebagai hibrida dengan musik kontemporer. Sejak terbentuknya pada 2010, Senyawa hadir dalam percaturan musik dunia dengan kekhasan komposisi musik eksperimentalnya. Untuk Indonesia Bertutur 2022, Senyawa menciptakan “Vajranala”, rangkaian nomor komposisi baru sebagai hasil interpretasi ulang mitologi tanah di mana Candi Pawon (Brojonalan, Magelang) didirikan, dan dimainkan dengan instrumen baru dalam pertunjukannya. Rasi bintang Orion (Lintang Luku) menjadi acuan bagi Senyawa untuk menciptakan alat musik baru ini, yang terbuat dari luku, alat pertanian tradisional.

Tidak hanya seniman tanah air saja yang ingin menelusuri jejak masa lampau di Indonesia. Kedekatan Choy Ka Fai dengan teknologi digital ia awali dengan pertanyaan apa yang akan terjadi jika gerak tubuh penari dapat ditransfer melalui data ke tubuh lain, seberapa banyak kualitas ekspresif dan emotif pertunjukan yang nyata? Inilah pertanyaan yang mendorong riset-riset artistik Ka Fai yang selanjutnya memperluas telisiknya ke dalam hubungan antara material dan immaterial, ketubuhan, dan anima. Bersamaan dengan itu, Ka Fai mengambil pendekatan antropologis untuk menelusuri apa yang dialami pemain dalam pikiran mereka. Keberhasilan kerja sama antara Choy Ka Fai dan Rianto pada 2014, dalam Soft Machine, membuktikan bahwa kolaborasi juga bisa merupakan sarana untuk menyuarakan mereka yang didiskriminasikan oleh masyarakatnya—dan mengantarkan Rianto ke panggung-panggung Eropa. Untuk Indonesia Bertutur 2022, Choy Ka Fai hadir dengan karya kolaborasi berjudul Postcolonial Spirit, sebuah eksperimen yang terinspirasi oleh warisan multidimensional Dolalak, tarian rakyat dari Purworejo, Jawa Tengah. Pertunjukan ini melibatkan Vincent Riebeek dari Belanda dan Andri Kurniawan, penari Dolalak. Keduanya telah berkolaborasi secara virtual dan berspekulasi tentang gagasan pembuatan tari tele-presence sejak 2019. Ka Fai juga berkolaborasi dengan Nova Ruth, penyanyi dari Malang, serta Yenu sebagai komposer. Kolaborasi Ka Fai dengan Vincent, Andri, dan para penari serta pemusik Indonesia ini menggambarkan proses dan metode klasik kolaborasi dari awal abad ke-20 sekaligus menghadirkan wacana kritis tentang wujud kolaborasi hari ini. 

Dalam sejarah seni teater Indonesia, Teater Garasi memiliki jejak kekaryaan yang terus tumbuh dan terjaga keberlanjutannya. Kelompok ini telah berdiri sejak 1993 dan secara kolektif terus-menerus melakukan riset pengetahuan dan artistik dalam kerangka penciptaan bersama (collective creation). Visi dan praktik itu telah membawa seniman dan karya Teater Garasi ke pergaulan dan fora seni pertunjukan internasional. Indonesia Bertutur 2022 mengundang Teater Garasi yang menampilkan karya bertajuk Waktu Batu: Rumah yang terbakar. Karya ini merupakan lanjutan riset Waktu Batu, repertoar teater yang telah diawali sejak 2001 melalui riset-riset antropologis atas sejarah kebudayaan dan narasi-narasi mitologi Jawa. Waktu Batu mencoba menafsir ulang tiga mitologi Jawa: Watugunung, Murwakala, dan Sudamala, yang masing-masing menceritakan asal-usul penanggalan Jawa, dewa waktu Jawa, dan konsep waktu sebagai ancaman dalam kosmologi Jawa. Pada saat yang sama, Waktu Batu juga didasarkan pada teks Jawa abad ke-14 dan 15 ketika transformasi sosial dan budaya terjadi; masa yang dilihat sebagai awal intensifikasi globalisasi, bagian dari abad kolonial di seluruh Nusantara.  

Tradisi bertutur banyak disajikan dalam bentuk seni musik dan seni suara. Melalui lantunan dan irama, pesan-pesan dan ungkapan disenandungkan dan dinyanyikan. Dunia musik telah tumbuh berasimilasi dengan berbagai kondisi dan arus perubahan zaman. Tulus dikenal sebagai penyanyi bergenre sophisti-pop atau subgenre pop yang berkelindan dengan new wave, jazz, soul, dan pop. Kesan rumit namun menyenangkan terdengar dari aransemen musik yang ekstensif dari beragam harmoni dan perpaduan instrumen yang khas. Penulisan lirik-lirik lagu Tulus juga sarat akan pemaknaan mendalam dengan kualitas sastrawi. Melalui lagu-lagunya, Tulus membawa pendengarnya memasuki ruang rasa dan memaknakan waktu dengan cara mendalam. Setiap lagu menyiratkan pesan yang mengajak kita memahami hal-hal yang tidak disadari atau diketahui sebelumnya. Bagi Tulus, ruang, waktu, dan pengetahuan adalah elemen penting dalam mendekatkan manusia pada makna kehidupan. Kehadiran Tulus dalam Indonesia Bertutur mewakili ekspresi dunia musik populer saat ini. 

Seni pertunjukan kontemporer selayaknya terus tumbuh, karena ia hidup dan menghidupi,  mengalir seperti arus sungai yang mencari jalurnya sendiri. Seni pertunjukan kontemporer adalah pembawa spirit sebuah zaman dan menjadi penanda realitas yang secara berkelanjutan hadir sebagai cerminan kehidupan masyarakat.



Melati Suryodarmo

 


 

PENAMPIL SENI PERTUNJUKAN KONTEMPORER

 

TEATER GARASI: Waktu Batu: Rumah yang Terbakar

PREHISTORIC BODY THEATER: A Song for Sangiran 17

TULUS

FITRI SETYANINGSIH: Kinjeng Tangis (The Return of Cicadas)

MILA ROSINTA: Jalan, Berjalan, Perjalanan

CHOY KA FAI: Postcolonial Spirits

SENYAWA: Vajranala